CERPEN : KEIKHLASAN CINTA (Romance Religi)

JUDUL : KEIKHLASAN CINTA
Oleh : Nuka


"Jangan terlalu mencintaiku karena aku takut Allah cemburu dan tak meridhoi kita bersatu," ucap lembutnya waktu itu.

Aku mengakui memang terkesan terlalu mencintai. Karena itu, dia selalu menasihatiku untuk sewajarnya saja dalam melabuhkan rasa.

Dia bernama Citra. Seorang gadis pemalu yang kutemui saat masih SMP. Aku kagum dengan akhlaknya, di saat dunia gemar memperlihatkan keindahan parasnya di dunia nyata maupun di dunia maya. Namun dia justru berbeda.

Citra tahu, bahwa aku mencintainya dan aku pun tahu dia mempunyai rasa yang sama. Memang dia tak pernah ungkapkan perasaannya. Namun aku begitu merasakan hangatnya kasih sayang.

Kita sama mengerti jika mengikat cinta dengan pacaran dilarang oleh agama. Aku sebisa mungkin menghindarinya. Maka, jalan yang kutempuh adalah dengan mencintai dalam diam. Walaupun raga tak berpapasan namun saling menjaga perasaan, tidak berjumpa tetapi saling memantaskan.

Usiaku 21 tahun. Aku belum khatam mondok. Namun, aku selalu teringat akan dia yang tengah menantiku di ujung sana. Kita tak mungkin terus berbalas pesan manja karena tahu godaan setan akan datang menghampiri kapan saja, walaupun hanya dalam room chat. Aku sering mengabarinya saat sejarang-jarangnya, dia pun hanya membalas pesanku seluang waktunya.

Dalam doa sepertiga malamku adalah cara untuk memeluknya dari jauh. Cinta ini tumbuh sebelum akad, karenanya tak banyak yang bisa kuperbuat kecuali doa. Bersama-sama saling mendoakan adalah sudah menjadi kebiasaan. Agar nanti bisa dipertemukan di tempat dan waktu yang tepat.
_____ 

"Dret ... dret ... dret ...." Suara panggilan masuk dari Citra, langsung kuangkat. Karena tumben-tumbenan dia meneleponku.

["Assalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh."] 

["Wa alaikumussalam warohmatullahi wabarakatuh,"] balasku 

["E-em, Mas. Jadi mau kapan datang ke rumah Adek?]"

Aku heran, tiba-tiba saja dia menanyakan hal ini kepadaku. Bukankah selama ini dia tahu, bahwa aku belum tamat mondok. 

["Dek, ada apakah sebenarnya? Bukankah Adek tahu, Mas belum bisa. Tunggu Mas dua tahun lagi, Dek. Setelah Mas tamat, Mas akan cari kerja untuk modal kita menikah nanti, Dek. Mas janji!"]

Mendengar jawabanku, sesekali kudengar suara sendu tangis dalam ponsel. Aku tak mengerti apa maksud tangisnya itu pun ikut meneteskan air mata.

["Adek ... Adek kenapa? Tolong jawab ada apa?"] tanyaku dengan serius.


["Kemarin Gus Imran datang ke rumah dengan maksud baiknya. Bapak tak bisa menerima, karena menunggu keputusan dari Adek. Sedang Adek juga masih menunggu kedatangan Mas untuk meminang Adek."]

Mendengar itu. Aku tak percaya bahwa akan terjadi sedemikian rumit, seolah semuanya terjadi bagai mimpi buruk. Aku berusaha sekuatku agar tak terdengar menangis. Gus Imran adalah anak dari Kyai Mustofa dan sudah seharusnya aku ta'dzim kepada Seorang Kyai juga keturunannya.

Kebingunganku akhirnya memuncak antara mempertahankan atau justru mengikhlaskan. Karena aku tak ada modal untuk menikah. Juga rasanya aku belum mumpuni untuk membina keluarga. Tak terasa air mata pun terus mengalir tanpa henti.

["Dek ... Adek tau, Mas sangat mencintai Adek, Mas juga tahu jika Adek pun begitu. Namun, dalam kondisi saat ini Mas tak tau harus seperti apa,"] lanjutku seadanya.

Kudengar suara tangisnya lebih jelas. Aku yang mencoba tegar akhirnya tak bisa terus kutahan. Tak lama panggilan pun dimatikan. Aku mencoba menghubunginya beberapa kali. Namun, tetap tak bisa.

Malam itu perasaanku bimbang tak tentu arah. Aku memberanikan diri untuk menanyakan perihal ini pada guruku, KH. Ahmad 

_________

Setelah aku menjelaskan segalanya, Mbah terdiam sejenak, lalu berkata, "Hadi ... pernikahan itu soal kesiapan bukan soal usia maupun keterpaksaan. Jika belum siap sebaiknya tahan dulu. Mbah takut, jika kamu akhirnya menyesali. Kuatkan hatimu Hadi, ingatlah bahwa rencana Allah jauh lebih baik dari apa yang kamu rencanakan sejauh ini."

Aku hanya duduk terdiam seraya menunduk mendengarkan nasihat Mbah. 

Tiga hari kemudian, aku segera mengirimkan pesan kepada Citra.

["Assalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh. Dek, Mas yakin bahwa takdir dari-Nya justru lebih baik dari apa yang Mas rencanakan, Dek. Jika akhirnya kita tak bersama, Mas Ikhlas. Adek pun begitu, jangan membenci takdir yang ditetapkan. Mungkin saja Gus Imran adalah insan yang lebih bisa menuntun Adek ke jalan yang di ridhoi Allah."] paparku dalam room chat di aplikasi berwarna hijau.

["Wa alaikumussalam warohmatullahi wabarakatuh. Mas, maafkan atas Adek dan keluarga. Adek hanya takut, jika Mas membenci Adek dan keluarga,"] jawabnya.

["Tidak Dek, Adek tidak salah, Mas juga tak membenci Adek. Maafkan Mas juga, bukannya Mas tak sakit, bukan bermaksud tak ingin mempertahankan Adek. Namun, karena Mas tahu lelah rasanya jika terus menunggu. Anggaplah Mas sebagai seorang pendusta untuk membunuh luka yang mungkin tumbuh. Sungguh Mas tak apa, sungguh Mas ikhlas."]

["Mas, Adek izin tutup. Adek tak tahu lagi harus berkata dan berbuat apa. Adek pasrah Mas. Maafkan Adek. Assalamualaikum,"] papar singkatnya.

["Wa alaikumsalam warohmatullahi wabarakatuh,"] balasku.

Aku pun pasrah, tak bisa berbuat banyak.

________ 

Seminggu sudah, aku tak mendapat kabar tentang Citra.


"Kling ..." Suara pesan masuk dari Citra.

["Hadi, hadir ya, aku tunggu,"] tuturnya. Dia sudah tak memanggilku dengan sebutan Mas. Tak apa, aku cukup mengerti.

Memang sudah aku duga sebelumnya, bahwa ini pesan undangan pernikahan. Aku hanya bisa memandangi fotonya yang tengah bersanding dengan Gus Imran sembari membayangkan jika aku adalah orang yang bersanding dengan Citra saat itu.

Aku tak menjawab pesannya, aku hanya mengelus dada bersama derai air mata yang tak kunjung reda, sembari membatin, 'Ya Allah ... kuatkan aku, berikan aku petunjuk untuk memahami bahwa takdirmu lebih baik dari apa yang aku rencanakan.'

Aku tak bisa datang ke pernikahan Citra. Tak ingin saja jika hadirku malah memperkeruh keadaan.

"Allahuakbar ... Allahuakbar ...." Suara adzan memanggilku untuk kembali sujud kepada maha pemberi rahmat.

"Sudah ... sudah ...," ujar Mas Izan Fakhroji. Dia sahabat yang paling mengertiku. Lalu, dia memelukku dan mengulurkan tangannya untuk aku bersama menuju Masjid. 

Sudah enam bulan lamanya, kulewati hari-hari pilu. Sampai akhirnya aku kembali berada di titik bisa fokus mengaji, tak memikirkan masalah cinta lagi. Kini aku memang masih menyebut namanya dalam doa di sepertiga malamku, bukan untuk dipersatukan. Namun untuk bisa mengikhlaskan terlebih untuk kebahagiaan Citra.
____________ 

Dua tahun akhirnya kabar itu pun datang.

["Assalamualaikum, Mas Hadi? ... bisa berkenan ke rumah sakit Al-Furqon, sekarang Gus Imran jatuh sakit!"] Telepon dari salah satu santri Kyai Mustofa.

Aku langsung bergegas menemuinya. Sudah menjadi ta'dzim santri kepada seorang Gus. Sesampainya di sana aku melihat guruku, Mbah KH. Ahmad karena Kyai Mustofa adalah teman dakwahnya Mbah juga.

Gus Imran sudah tak bisa berkata apa-apa karena kondisinya begitu menghawatirkan. Namun lirik matanya mengisyaratkan aku untuk menggantikan posisinya sebagai pendamping hidup Citra.

Gus Imran seorang Gus yang sangat dermawan. Menurut kabarnya, dia jatuh sakit karena beban pikiran. memikirkan bahwa Citra sering kali memanggilnya dengan sebutan Mas Hadi. Dia juga sering mengingau namaku di tengah lelap mimpi.

Mendengar kabar itu, tak bisa kubahasakan rasaku. Aku kembali menjatuhkan air mata, mengingat kisah dulu juga mengingat akan skenario-Nya. Mbah yang melihat sendu tangisku itu langsung memelukku, karena Mbah mengerti betul akan perasanku.

"Innalillahi wa inna ilahi rooju'uun ..." Meninggallah Gus Imran. Suara tangisan pun sudah tak terbendung.

______ 

Setelah masa iddahnya selesai. Aku bermaksud baik datang ke rumah keluarga Citra, terlebih untuk memperjelas semuanya. Kemudian, Citra mengangguk anggun sama seperti kala itu.

Aku menikahi Citra walau sudah menjadi janda. Karena aku benar ikhlas mencintainya, dahulu pun Rasulullah Shollallohu Alaihi Wasallam menikahi Sayyidah Khodijah yang berstatus janda. Maka, tak ada alasan yang menghalangiku, walaupun terkadang omongan orang sering kali melintas di telingaku. Aku tak apa.

Seseorang yang dulu pernah terpisahkan karena jarak, seseorang yang dulu sering kusebut namanya di sepertiga malam, sekarang tak perlu lagi kucemaskan, karena malam ini pun ada di pelukan. Saling bermesraan, saling menguatkan, juga saling memandangi indah sang rembulan.

______

The End

0 Response to "CERPEN : KEIKHLASAN CINTA (Romance Religi)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel