CERPEN : LELAKI DI PENGUNJUNG WAKTU
Judul : Lelaki di Penghujung Waktu
Di penghujung waktu; di antara detik yang berdentang syahdu, akan aku kisahkan sebuah jalan cerita ... di mana hatiku merindu. Ini tentang jarak yang menyekat temu, tak biarkan sepasang kekasih menemui titik jumpa dalam waktu dekat.
Pada akhirnya, aku dan dia mulai abai akan cinta yang sebenarnya semakin tumbuh, tak kunjung pudar maupun rapuh. Bersama hari yang bergulir untuk purnama demi bulan-bulan yang bertahun, cerita ini terbangun.
Sesering apa pun bibir berucap satu nama. Sekuat apa pun hati mendekap satu cinta. Seerat apa pun tangan menggenggam satu asmara, pada akhirnya semua bisa saja lepas saat Sang Maha Cinta menetapkan takdir akan sebuah kisah; berpisah atau bertahan.
Apa yang diharapkan seseorang dari talian asmara? Tentu kebahagiaan tiada cela, tanpa luka berderai air mata, pun kecewa, apalagi kecup mesra bibir nestapa. Saat waktu menciptakan jarak, kala itulah jarak mempermainkan kesetiaan ... tentang tetap menunggu atau mencari cinta yang baru.
"Cita dan cinta sama penting bagiku. Tidak ada yang prioritas di antara keduanya. Namun, bila kamu menginginkan cita yang aku dahului, maka akan aku kabulkan."
Dia lelaki penurut, juga egois di waktu yang bersamaan. Aku mengenalnya sebagai seorang yang memuja cinta di atas rata-rata. Aku dekap daksa yang akan dibawa terbang pesawat ke negara yang akan menjadi tempat kekasihku itu merebut asa, mengapai cita-cita, walau membuat kisah cintaku terhalang waktu, jarak, dan lokasi.
Setelah melepas pelukan, aku tatap wajah tampan bak Arjuna; rahang kokoh pelengkap kharisma, kulit putih bersih berseri merah muda di kedua belahan pipi, kumis tipis melintang sebagai pemanis, alis tebal menarik hati, bibir seksi penggetar jiwa, tatapan teduh penenggelam sukma, juga bola mata cokelat muda yang mampu mengunci perhatian. Sempurna.
Bagaimana bila nanti dia terjebak dalam waktu berujung nafsu pada perempuan lain di belahan dunia sana? Biarlah jadi urusan hati, janji, dan mata. Semoga kekasihku mampu menahan diri, ingat pada gadisnya yang menunggu dalam belenggu gusar dan harap.
"Tak akan aku biarkan cintaku menjadi penghalangmu menggapai cita, Kekasihku," jawabku mengelus pipinya. Jangan tanya bagaimana payah logika mengajak nurani yang berkecamuk melepas kekasih hati pergi menggapai mimpi, jauh di seberang lautan. "Akan aku jaga cinta walau akan banyak goda dan tantangan yang datang."
Dia tersenyum, memberikan kecupan hangat di keningku sebelum akhirnya harus berpisah, kala panggilan terakhir penumpang pesawat menuju Negara Jepang menggema. Sebelum beranjak, Bintang---Kekasihku---berbisik, "Akan aku segerakan cita-citaku di Negeri Sakura, agar bisa aku tunaikan cita-citaku yang lain."
Jantungku berdegup, juga mata yang mulai berkaca-kaca. "Jangan lupa telepon aku jika sudah mendarat di sana," ujarku disaat Bintang mulai melangkah.
Dia tersenyum, lalu mengangguk sebelum hilang ditelan kerumunan umat manusia. Aku menghela napas panjang. Berat rasanya berpisah dengan orang yang aku cintai. Apalagi dia yang membuat rapuh menjadi kokoh.
"Gapai cita-citamu, Kekasih! Biar aku merindu di antara detik yang berdentang, kala sepi menjadikan aku sendiri, dalam kemelut sunyi malam yang membisu," gumamku melangkah mundur untuk meninggalkan bandara menuju tempat kerja.
***
Namaku Bulan, bukan benda bercahaya di wajah langit kala malam datang. Bukan benda berkilau yang hanya ada satu di antara jutaan bintang yang bertabur. Aku Bulan, kekasih salah seorang lelaki yang bernama Bintang di antara jutaan pemilik nama Bintang yang ada.
"Yakin kalau kamu mampu mempertahankan hubungan jarak jauh?" Gadis itu bertanya seakan aku mudah beralih rasa. "Di Negeri Sakura itu banyak cewek cantik, loh. Mana tahu si Bintang kecantol sama salah satu dari mereka, lal-"
"Kamu berkata seakan Bintang adalah cowok brengsek yang melahap semua wanita, Mentari. Tidak ada yang lebih mengenal Bintang dibanding Bulan," sela-ku sebelum Mentari menyudahi untaian kata yang akan dia ucapkan. Kemudian, aku tinggalkan gadis berambut pirang itu menuju dapur.
Melayani mereka yang hendak menjatuhkan bukan pilihan yang tepat saat ini. Terlebih dalam kondisi di mana hati tidak baik-baik saja, sebab sang kekasih yang masih belum memberi kabar semenjak seharusnya dia berkabar. Dia juga tidak aktif, semuanya offline.
Aku gantungkan kertas pesanan, mengambil nampan yang berisi pesanan lain, lalu mengantarkan kepada pelanggan di meja nomor delapan. Seorang lelaki berjas kantor, tengah menatap layar laptop dengan serius. Wajahnya familier, terlebih saat dia mendongak disertai bibir yang melengkung manis.
"Hai, Rembulan."
"Hai, Langit. Silakan nikmati hidanganmu," sahutku sambil meletakkan piring-piring makanan ringan di atas mejanya, beserta segelas kapucino. "Masih menyukai minuman yang sama seperti dahulu rupanya."
Dia mengangguk. "Sampai kapan pun tak akan berubah, Rembulan."
Aku mengangguk mengerti, beranjak pergi. Namun, langkahku kembali terhenti, kala lelaki berjas kantor itu memanggil namaku lagi. Kutatap tepat pada mata elangnya yang meneduh, masih saja kutemui cinta yang berharap dari sosok itu.
"Terima kasih."
Dua kata yang di pendengaranku sangat ambigu. Setelah mengangguk, aku kembali melangkah menuju dapur untuk mengambil pesanan lainnya. Inilah aku, pemilik kafe yang lebih suka merangkap menjadi pelayan.
"Ada telepon untukmu, Nona Bulan."
"Dari siapa?" Aku tidak terlalu berharap jika itu adalah Bintang. Berharap lebih itu menyakitkan, juga menjatuhkan. Pada akhirnya terhempas hingga patah, remuk redam dalam kubangan kecewa. "Jika tidak penting, silakan tutup saja!"
"Ini masa depan Anda, Nona."
Senyumku terbit, tangan mengambil alih ponsel dari sang kasir. Jika waktu menciptakan jarak, maka selalu ada cara mengobati gelisahnya hati di antara resah yang menggundah. Suaranya mampu menghadirkan senyum, walau raga tak nyata hadir di depan mata.
"Kau membuatku menunggu lama hanya untuk sebuah telepon, Bintang."
Saat itu, kulepas landas gelisah yang sempat mengelabui pikiran dan perasaan. Suara lembut menenangkan, membawa pada damai yang mengendapkan curiga yang sempat bercokol walau hanya secuil. Kuanggap ini awal dari hubungan asmaraloka yang semakin membuncah. Semoga saja.
***
Biar angin membawa salam untuknya yang jauh di sana, bawa segala sapa yang tak bisa disuarakan langsung padanya yang dirindu sepanjang jarak yang menyekat. Biar aku bisikkan pada sarayu, perihal hati yang perlahan merindu pada temu yang meminta hadir, dalam kancah sang kala yang tak jua memberi restu.
Inilah puncaknya, di mana aku dan dia mulai jarang memberi kabar sekadar pembuka di awal pagi lewat media elektronik. Saat masing-masing diri disibukkan oleh pekerjaan yang menuntut sepanjang hari, bahkan menyita waktu istirahat. Di mana aku yang disibukkan urusan kafe yang mulai berkembang dan buka cabang di kota lain, serta dia yang sibuk mewujudkan impian masa kecilnya di Jepang.
Melupa pada tegur lewat ponsel, tetapi cinta tak berkurang secuil pun. Rasa itu tetap tumbuh, dari kuncup yang semakin merekah, harap layu tak menghampiri, apalagi membawa pada ketiadaan. Hilang.
"Kapan Nona Bulan akan menikah?"
Kini, pertanyaan sejenis itu kerap kali singgah di telinga, membuat senyum yang melengkung jadi cembung. Satu kata 'kapan' merubah segalanya sekarang. Pikiranku disita, rasaku menggelora akan sebuah jawaban di ujung sana.
"Kapan, Bintang?"
Jawabnya segera datang dan membuktikan cinta lewat ikrar suci dalam ikatan halal. Namun, dia perlu sedikit lebih lama lagi untuk cita-cita di depan mata. Selangkah lagi.
Mulai saat itu, tiada henti tanya 'kapan' itu kulontarkan hingga berujung perang dingin antara Bintang dan Bulan. Benar kata orang-orang, hubungan jarak jauh butuh kesabaran juga saling pengertian.
Namun, sanggupkah hati terus bersabar, sedangkan yang ditunggu sering membelokkan arah pembicaraan? Atau benar, dia telah jatuh pada kubangan cinta semanis madu di negara sana?
Pada langit malam, kerap kali kudapati wajah bulan bersedih. Ia seperti mengerti perasaan insan yang kini merindu. Malam tetap membisu walau beribu tanya hadir meminta jawaban dari gulitanya yang kerap tak disapa gemerlap para bintang.
Kisah cintaku seumpama kapal yang berlayar; kini di tengah badai. Goyah. Sering kali aku dan dia berseteru di telepon, saling marah, saling mendiamkan, saling membisu. Walau begitu, tetap menanyakan kegiatan masing-masing, lalu bertengkar lagi, lagi, dan lagi.
"Apa dia juga tak akan datang dalam waktu dekat, Rembulan?"
Aku menoleh, tergugu dalam kalimat yang tak bisa aku suarakan. Lalu, kualihkan perhatian pada puncak-puncak rumah di bawah sana. Di atas atap gedung pencakar langit ini, kutunaikan janji bertemu sosok Langit yang meminta jawaban dari seminggu yang lalu.
Inilah ujian hubungan jarak jauh, salah satunya. Digoda masa lalu, yang kembali hadir mencurahkan rasa yang harusnya tak lagi disodorkan pada mantan yang sudah menemukan cinta yang lain.
"Kau tak bisa menjawabnya, bukan?" Kedua tangannya memegangi kedua pundakku, memaksaku menghadap padanya. "Kembalilah padaku, Rembulan!"
Bola mata cokelat tua itu menatap dalam pada mataku, seakan mencoba menyelami sedalam apa rasaku terhadap sosok lain, yang kini masih berjuang menggapai mimpi. Jika menanyai perihal cinta, akan dengan mudah aku jawab, bahwa cinta untuk masa lalu telah habis digerus waktu.
"Hanya aku yang bisa menyediakan tempat untukmu, Rembulan. Hanya Langit yang bisa menjadi kanvas untuk Rembulan bersinar."
Aku tersenyum getir. "Jika Langit mampu menyediakan kanvas malam untuk Rembulan bersinar, itu mungkin benar. Namun, Rembulan tidak berarti tanpa Bintang. Kamu telah mendapatkan jawabannya tanpa perlu aku suarakan lagi, Langit," balasku melepas tangannya dari pundakku.
Kecewa itu jelas terpampang di mata elangnya, tetapi aku tak bisa membangkitkan lagi cinta untuk dia yang telah menjatuhkanku sejatuh-jatuhnya, di waktu lalu, sampai pada akhirnya Rembulan kembali bersinar saat Bintang hadir.
Langit melangkah mundur. Menjauh. Matanya berkaca-kaca. Aku mungkin dilanda bimbang antara menunggu atau beralih. Bintang tiada lagi berkabar, Langit hadir menyodorkan cinta. Aku bisa saja menerima Langit kembali, tetapi cinta tak bisa lagi mekar untuknya. Rasa itu telah mati saat dia mematahkan hati, berulang kali.
"Baik, Rembulan. Langit mengikhlaskan walau sulit. Terima kasih sudah menjadi sosok terindah dalam hidup Langit, Rembulan." Dia berbalik badan, pergi meninggalkan aku yang tergugu. Namun, inilah caraku menjaga hati dan diri, untuk Bintang.
Aku pandangi lagi puncak-puncak rumah, diam membisu di tengah malam yang merindu bulan sabit. Derap langkah terdengar mendekat, kupikir Langit datang lagi untuk merayu diri ini agar melupa pada Bintang, dan kembali dalam dekapan hangat Langit---sang masa lalu.
"Terima kasih telah menjaga cinta dan kesetiaan, Bulan."
Kuangkat kepala, getar dada terasa hangat. Kubalikkan badan, dapati sosok tampan bak Arjuna berdiri dengan senyum merekah indah. Dialah Bintang yang katanya masih lama di Negeri Sakura. Tanpa aba, aku berlari untuk memeluknya.
"Kamu jahat, Bintang! Mengapa pulang tak berkabar?" tanyaku mendongak, menatap penuh rindu padanya yang kucinta selama beberapa purnama yang berjalan pada tahun yang berganti. "Dan kamu mendengarkan segala yang barusan terjadi?"
"Aku memberimu surprise. Dan, ya! Aku melihat dan mendengar yang barusan nyata di penglihatan juga pendengaran," jawabnya kembali menarikku dalam pelukan hangatnya. "Cita-citaku telah tercapai dengan cepat karenamu. Kini, biarkan aku gapai cita-cita yang lain."
Pelukan terurai, dia berjongkok. Sebuah kotak merah dia keluarkan dari saku jas yang membalut tubuh tegapnya, lalu tutup kotak kaca terbuka. "Kamu adalah cita-cita yang kuteguhkan dalam dada, berkali-kali kuulang dalam doa. Sungguh, kamu membuatku berkali-kali jatuh mencintai. Bulan, tetaplah bersamaku. Temani aku melewati hari sampai batas waktuku tiba. Menikahlah denganku!"
Senyumanku mengembang, air mata haru jatuh di pipi. Setelah waktu memberikan jarak pada kisah cinta Bintang dan Bulan, akhirnya ia juga yang memberikan jawaban atas nama cinta, menunggu, dan kesetiaan.
"Ya, Bintang. Aku akan menikah denganmu. Menjadi pelengkap sekeping hati untuk membuatnya utuh. Melewati setiap detik yang berdenting, menghitung hari demi hari menuju masa akhir."
Cincin bertakhta berlian tersemat di jari manisku, sebagai awal dari dua hati yang sempat berpisah, untuk kembali bersama melanjutkan kisah.
"Terima kasih, Rembulan. Mungkin bertahan dalam hubungan jarak jauh tidaklah mudah, banyak tantangan dan cobaan. Mulai dari temu yang tak bisa nyata dan segera, tanya dari orang sekitar, sampai kata-kata buruk yang menuduh salah satu pihak. Namun, hati yang tulus mencintai dan menjaga rasa akan berujung manis."
Dialah lelaki di penghujung waktu, menyahut segala tanya 'kapan' yang akan kujawab 'telah datang'. Ada banyak pilihan yang ditawarkan waktu dan jarak dalam sebuah hubungan, tapi aku memilih menunggu dan setia. Aku bisa saja mencari cinta yang baru dari hati yang menawarkan kisah yang lebih magis dan berseri, tapi aku memilih bertahan pada rasa yang sama.
Tak ada yang tahu pasti apa rahasia takdir yang merentangkan waktu, menyekat temu pada jarak yang membentang. Bisa saja ego memilih memutus, tapi rasa meminta bertahan untuk terus yakin. Waktu hanya tengah menguji kesetiaan, dan jarak hanya ingin memberi kesempatan teruntuk menyelami apa yang diinginkan hati sebenarnya. Melepas atau menjaga?
***
The End
TTD : Apris Wila Sari
0 Response to "CERPEN : LELAKI DI PENGUNJUNG WAKTU"
Post a Comment